Lubang Tikus
Semburat matahari jingga di kejauhan barat mengalirkan perlahan
awan nan berjalan perlahan menjauh dari sang raja siang yang kian mengecilkan
sinarya. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah menjangkau awan-awan untuk
menahan laju yang kian kencang. Dengan hati nan tak lagi ceria, tatapan mata
Udin mengamati jalanan dengan telitinya, seperti seorang yang mencari koin di
sepanjang jalan. Jemari tangan kanannya secara perlahan memutar tuas gas dan
tak berani lebih kencang dari sekedar kayuhan sepeda angin. Lenggak-lenggok ban
seperti goyangan penyanyi dangdut, orkes melayu orang hajatan kampung sebelah
nan kurang teratur lekukannya. Sesekali Udin mengangkat bokong dari jok motor
kesayangannya, ketika goyangan ban itu menerjang sebuah lubang. Lubang yang
serasa tak berdosa mengganggu pengguna jalan. Tergesa mengejar waktu, hati Udin
resah, rasa yang sering dibilang dengan istilah ‘galau’ oleh anak remaja zaman
sekarang, Udin memutar tuas gasnya dengan agak kencang seketika melihat jalanan
yang agak mulus dan bersih dari pori-pori lubang yang kian tak berdosa. “Groookkkk”
tiba-tiba ban motornya mencium lubang besar dan dalam. Ia tak sempat mengangkat
bokongnya. Udin kepayahan mengatur jalannya motor yang bergoyang bak goyang
ngebor ala Inul. Setelah berhasil mengontrol laju motor yang tadinya tak
terkendali, hela nafas lega keluar dari dua lubang hidungnya yang menganga
seperti hidung babi. Ya, kata orang-orang hidungnya besar, seperti hidung babi,
hanya saja lubang hidungnya tidak mendongak ke atas melainkan tetap ke bawah. Sebab
itulah, orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan ‘babi’.
“Waduh kenopo iki, kok banne koyo oleng-oleng ngono yoow..?” batin Udin beberapa saat setelah laju motornya kembali normal tapi
sedikit oleng. Seketika Udin memelankan laju motornya dan berheti di
tepi jalan nan tak beraspal. “Jancuuukkk....!! malah bocor,
asem...asem...ora ngerti opo pie yow banne iki nek aku lagi kesusu meh metuk
yayangku tercinta, wah iso-iso ngambek tenan iki wonge”. Udin berbicara sendiri seperti orang gila
setelah melihat ban belakangnya kempes akibat kejeglong tadi, bukan
ucapan-ucapan istigfar yang keluar dari mulutnya, melainkan sebuah ‘pisuan-pisuan’,
atau kata-kata kotor yang keluar tak beraturan yang spontan terucap riang.
Tanpa fikir panjang, Udin segera menuntun sepedanya sambill berharap di dekatnya
ada tukang tambal ban yang masih buka, mengingat waktu sudah terlalu sore untuk
ukuran tukang tambal ban menggelar lapaknya, mungkin hanya tukang yang buka
selama 24 jam saja yang masih buka.
“Alhamdulillah...”
ucapan yang berbeda keluar dari mulut Udin setelah ia berhasil menemukan tukang
tambal ban yang masih buka.
“Bang, tambal Bang!”
“Waduh, mau tutup itu Mas!”
“Pie tow pae iki meh dikei rejeki kok gak gelem, sitok aku wae
bang, gelak kesusu iki!” Rayu Udin.
“ Yowes, kene bang tak tambale sek!” Akhirnya tukang tambal itu menerima bujukan Udin yang terlihat
memelas.
Sambil menunggu, Udin mengotak-ngatik hp androidnya sambil ber-sms-an
ria dengan Sang Kekasih yang hendak ia jemput untuk pergi malam mingguan,
untungnya Sang Kekasih tidak marah dan mau menerima keadaan Udin yang saat ini
sedang tertimpa musibah. Senyum kecil keluar dari bibirnya saat membaca sms
yang diterimanya dari sang kekasih, bak durian runtuh, seperti mendapat rezeki yang
berlipat, senyumnya akhirnya memecahkan kesunyian antara tukang tambal ban
dengan sang pangeran nan tak berdaya ketika kuda besinya nyungsep ke
dalam jurang kecil yang berceceran di jalanan.
“Ngopo mas kok ngguya-ngguyu dewe?”
“Mboten pak, niki moco sms kok pak”
“Aku kira yen kurang waras mas, niki kok iso bocor mau nopo
kejeglong tow mas panjenengan?”
“Nggeh pak, niki mau kejeglong kidul kunu kwi lho pak. Apes tenan
kok pak, lagi kesusu-kesusu malah entok alangan koyo ngene. Dasare lagi apes
tenan iki aku pak.” Udin
menjelaskan.
Matahari mulai sembunyi dan tak malu lagi untuk meredupkan
sinarnya, berbagai jenis kendaraan bermotor tak henti-hentinya melintas di
depan tempat tambal ban. Lampu-lampu di pinggir jalan mulai menyala satu per
satu, dan proses penambalan pun belum juga selesai, mungkin tinggal beberapa
menit lagi.
“Ngepit nek daerah kene kie ati-ati mas, okeh jeglonganane” ucap tukang tambal ban sambil membersihkan tangannya dengan air
yang biasanya digunakan untuk melimbang ban guna mencari pusat kebocoran udara.
“Iya pak, padahal negara kita ini kan katanya kaya, tapi namung
nambal dalan yang rusak ae kok ya gak kuat ya pak, kae lho pak tanggaku
kwi dadi anggota DPRD, sugihe tenanan, sedesa gak ada yang bisa nandingi
kekayaannya, bahkan kini baru saja membeli mobil mewah yang regane meh satu
milyar, heran aku, pejabate sugih kabeh tetapi memperbaiki jalan saja
gak becus.” Udin mengeluarkan argumennya dengan bahasa campur aduk antara
indonesia dengan jawa. Sambil mengamati api yang terus menyala membakar minyak
guna merekatkan tambalan ban.
“Biasa mas, kita sebagai orang kecil hanya bisa berdiam, meneng
tok isone, mau bicara juga percuma, gak digagas, omongan orang kecil itu
ibarate kotoran yang terbawa arus sungai, sedilit tok, trus hilang dari
pandangan. Makanya lebih baik kita diam saja mas, ikuti saja arusnya, mau
dibawa kemana kita ini ya tergantung pemimpinnya tow mas. Suatu saat pasti juga
diperbaiiki kok mas dalan ngarep iki.” Si tukang tambal ban ikut-ikutan
berbicara bahasa Indonesia yang kental
dengan kejawaannya.
“Sudahlah mas gak usah
dipiker, biar diurusi bagian yang mengurusi, kita kan tinggal memakainya, masih
untung ada jalan yang dilewati meski seperti gorong-gorong tikus yang tak
teratur. Penting ati-ati saja mas, seharian tadi sudah ada empat pengendara
motor yang terjatuh akibat lubang yang sama dengan yang panjenengan alami, dan
satu orang meninggal setelah terjatuh dan terlindas truk tronton.” Ucap tukang
tambal ban berlagak sok tahu.
Ucap syukur melantun lembut di hati Udin, bersyukur karena ia tak
sampai terjatuh, bersyukur karena ia tak mati, dan beryukur karena hanya lubang
kecil di bannya saja yang diakibatkan dari sebuah jeglongan itu. Dan
tentunya bersyukur karena yayangnya gak nesu.