Senin, 28 Oktober 2013

cerpen

Lubang Tikus
Semburat matahari jingga di kejauhan barat mengalirkan perlahan awan nan berjalan perlahan menjauh dari sang raja siang yang kian mengecilkan sinarya. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah menjangkau awan-awan untuk menahan laju yang kian kencang. Dengan hati nan tak lagi ceria, tatapan mata Udin mengamati jalanan dengan telitinya, seperti seorang yang mencari koin di sepanjang jalan. Jemari tangan kanannya secara perlahan memutar tuas gas dan tak berani lebih kencang dari sekedar kayuhan sepeda angin. Lenggak-lenggok ban seperti goyangan penyanyi dangdut, orkes melayu orang hajatan kampung sebelah nan kurang teratur lekukannya. Sesekali Udin mengangkat bokong dari jok motor kesayangannya, ketika goyangan ban itu menerjang sebuah lubang. Lubang yang serasa tak berdosa mengganggu pengguna jalan. Tergesa mengejar waktu, hati Udin resah, rasa yang sering dibilang dengan istilah ‘galau’ oleh anak remaja zaman sekarang, Udin memutar tuas gasnya dengan agak kencang seketika melihat jalanan yang agak mulus dan bersih dari pori-pori lubang yang kian tak berdosa. “Groookkkk” tiba-tiba ban motornya mencium lubang besar dan dalam. Ia tak sempat mengangkat bokongnya. Udin kepayahan mengatur jalannya motor yang bergoyang bak goyang ngebor ala Inul. Setelah berhasil mengontrol laju motor yang tadinya tak terkendali, hela nafas lega keluar dari dua lubang hidungnya yang menganga seperti hidung babi. Ya, kata orang-orang hidungnya besar, seperti hidung babi, hanya saja lubang hidungnya tidak mendongak ke atas melainkan tetap ke bawah. Sebab itulah, orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan ‘babi’.
“Waduh kenopo iki, kok banne koyo oleng-oleng ngono yoow..?” batin Udin beberapa saat setelah laju motornya kembali normal tapi sedikit oleng. Seketika Udin memelankan laju motornya dan berheti di tepi jalan nan tak beraspal. “Jancuuukkk....!! malah bocor, asem...asem...ora ngerti opo pie yow banne iki nek aku lagi kesusu meh metuk yayangku tercinta, wah iso-iso ngambek tenan iki wonge”.  Udin berbicara sendiri seperti orang gila setelah melihat ban belakangnya kempes akibat kejeglong tadi, bukan ucapan-ucapan istigfar yang keluar dari mulutnya, melainkan sebuah ‘pisuan-pisuan’, atau kata-kata kotor yang keluar tak beraturan yang spontan terucap riang. Tanpa fikir panjang, Udin segera menuntun sepedanya sambill berharap di dekatnya ada tukang tambal ban yang masih buka, mengingat waktu sudah terlalu sore untuk ukuran tukang tambal ban menggelar lapaknya, mungkin hanya tukang yang buka selama 24 jam saja yang masih buka.
“Alhamdulillah...” ucapan yang berbeda keluar dari mulut Udin setelah ia berhasil menemukan tukang tambal ban yang masih buka.
“Bang, tambal Bang!”
“Waduh, mau tutup itu Mas!”
“Pie tow pae iki meh dikei rejeki kok gak gelem, sitok aku wae bang, gelak kesusu iki!” Rayu Udin.
“ Yowes, kene bang tak tambale sek!” Akhirnya tukang tambal itu menerima bujukan Udin yang terlihat memelas.
Sambil menunggu, Udin mengotak-ngatik hp androidnya sambil ber-sms-an ria dengan Sang Kekasih yang hendak ia jemput untuk pergi malam mingguan, untungnya Sang Kekasih tidak marah dan mau menerima keadaan Udin yang saat ini sedang tertimpa musibah. Senyum kecil keluar dari bibirnya saat membaca sms yang diterimanya dari sang kekasih, bak durian runtuh, seperti mendapat rezeki yang berlipat, senyumnya akhirnya memecahkan kesunyian antara tukang tambal ban dengan sang pangeran nan tak berdaya ketika kuda besinya nyungsep ke dalam jurang kecil yang berceceran di jalanan.
“Ngopo mas kok ngguya-ngguyu dewe?”
“Mboten pak, niki moco sms kok pak”
“Aku kira yen kurang waras mas, niki kok iso bocor mau nopo kejeglong tow mas panjenengan?”
“Nggeh pak, niki mau kejeglong kidul kunu kwi lho pak. Apes tenan kok pak, lagi kesusu-kesusu malah entok alangan koyo ngene. Dasare lagi apes tenan iki aku pak.” Udin menjelaskan.
Matahari mulai sembunyi dan tak malu lagi untuk meredupkan sinarnya, berbagai jenis kendaraan bermotor tak henti-hentinya melintas di depan tempat tambal ban. Lampu-lampu di pinggir jalan mulai menyala satu per satu, dan proses penambalan pun belum juga selesai, mungkin tinggal beberapa menit lagi.
“Ngepit nek daerah kene kie ati-ati mas, okeh jeglonganane” ucap tukang tambal ban sambil membersihkan tangannya dengan air yang biasanya digunakan untuk melimbang ban guna mencari pusat kebocoran udara.
“Iya pak, padahal negara kita ini kan katanya kaya, tapi namung nambal dalan yang rusak ae kok ya gak kuat ya pak, kae lho pak tanggaku kwi dadi anggota DPRD, sugihe tenanan, sedesa gak ada yang bisa nandingi kekayaannya, bahkan kini baru saja membeli mobil mewah yang regane meh satu milyar, heran aku, pejabate sugih kabeh tetapi memperbaiki jalan saja gak becus.” Udin mengeluarkan argumennya dengan bahasa campur aduk antara indonesia dengan jawa. Sambil mengamati api yang terus menyala membakar minyak guna merekatkan tambalan ban.
“Biasa mas, kita sebagai orang kecil hanya bisa berdiam, meneng tok isone, mau bicara juga percuma, gak digagas, omongan orang kecil itu ibarate kotoran yang terbawa arus sungai, sedilit tok, trus hilang dari pandangan. Makanya lebih baik kita diam saja mas, ikuti saja arusnya, mau dibawa kemana kita ini ya tergantung pemimpinnya tow mas. Suatu saat pasti juga diperbaiiki kok mas dalan ngarep iki.” Si tukang tambal ban ikut-ikutan berbicara  bahasa Indonesia yang kental dengan kejawaannya.
 “Sudahlah mas gak usah dipiker, biar diurusi bagian yang mengurusi, kita kan tinggal memakainya, masih untung ada jalan yang dilewati meski seperti gorong-gorong tikus yang tak teratur. Penting ati-ati saja mas, seharian tadi sudah ada empat pengendara motor yang terjatuh akibat lubang yang sama dengan yang panjenengan alami, dan satu orang meninggal setelah terjatuh dan terlindas truk tronton.” Ucap tukang tambal ban berlagak sok tahu.

Ucap syukur melantun lembut di hati Udin, bersyukur karena ia tak sampai terjatuh, bersyukur karena ia tak mati, dan beryukur karena hanya lubang kecil di bannya saja yang diakibatkan dari sebuah jeglongan itu. Dan tentunya bersyukur karena yayangnya gak nesu.

Selasa, 01 Oktober 2013

NILAI UH1 KELAS VIII

NILAI ULANGAN HARIAN 1 BAHASA INDONESIA
KATEGORI SOAL: URAIAN/TEORI
No. Absen
Nilai
KELAS 8D
KELAS 8E
KELAS 8F
1
93
97
67
2
74
95
83
3
93
100
81
4
94
75
90
5
62
92
84
6
96
97
96
7
80
83
70
8
97
95
83
9
86
97
81
10
79
97
86
11
93
85
77
12
70
87
96
13
87
85
81
14
86
87
79
15
81
100
70
16
74
97
91
17
70
90
81
18
90
88
81
19
89
97
96
20
90
95
96
21
81
97
80
22
97
78
76
23
74
60
80
24
86
100
60
25
70
92
76
26
100
67
89
27
93
97
100
28
94
97
91
29
100
90
89
30
76
80
89
31

88
84
rerata kelas
85,17
89,84
83,32
tertinggi
100
100
100
terendah
62
60
60
nilai juga bisa dilihat di: