terpujilah wahai engkau ibu bapak guru....
namamu akan selalu ada...............
blog ini adalah suatu wadah ekspresi isi hati penerbit. dalam blog ini banyak sekali kekurangan, jadi penerbit mohon kritik dan saran dan alamatkan ke doninugroho@gmail.com.kritik dan saran anda akan membantu dalam penyempurnaan blog ini.terima kasih. add my facebook: slow.boy88@yahoo.com or doninugroho@gmail.com and dont forget follow my twet @didon88,okery...
Kalimat “katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu”, maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku satu kalimat yang pendek, padat berisi tentang pengertian Islam yang mudah saya mengerti, sehingga saya tidak lagi perlu penjelasan orang lain untuk menjadi dasar saya beramal. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Katakanlah : ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. Ini adalah kalimat pendek, padat berisi yang Allah berikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau menyuruh orang tersebut untuk selalu memperbarui imannya dengan ucapan lisan dan mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar. Hal ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya mereka yang berkata : Allah adalah Tuhan kami kemudian mereka istiqamah……”.(QS. Fushshilat : 30) yaitu iman kepada Allah semata-mata kemudian hatinya tetap teguh pada keyakinannya itu dan taat kepada Allah sampai mati. ‘Umar bin khaththab berkata : “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti berpalingnya musang”. Maksudnya, mereka lurus dan teguh dalam melaksanakan sebagian besar ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Demikianlah pendapat sebagian besar para musafir. Inilah makna hadits tersebut, Insya Allah. Begitu pula firman Allah : “Maka hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu”.(QS. Hud : 112) Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”. Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”. Ia berkata pula : “Ada yang berpendapat bahwa istiqamah itu hanyalah bisa dijalankan oleh orang-orang besar, karena istiqamah adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di hadapan Allah dengan kesungguhan dan kejujuran. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Istiqamahlah kamu sekalian, maka kamu akan selalu diperhitungkan orang’. Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”. Wallaahu a’lam. |
Hadits ini disebutkan dalam tafsir ayat : “Jika kamu melahirkan apa yang ada dihati kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan mengadili kamu dengan apa yang kamu lakukan itu” (QS. 2 : 284)Ayat ini menyebabkan para sahabat merasa tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’adz bin Jabal beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mereka berkata : “Kami dibebani amal yang tak sanggup kami memikulnya. Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam hatinya ada bisikan yang tidak disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan dunia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu menjawab : “Boleh jadi kamu mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau mendengar tetapi kami akan menentangnya. Karena itu katakanlah : ‘Kami mau mendengar dan mau menaati”. Hal itu membuat mereka merasa tertekan dan mereka diam untuk sementara. Lalu Allah memberikan kelonggaran dan rahmat-Nya dengan berfirman : “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala atas usahanya dan mendapatkan siksa atas kesalahannya, (lalu ia berdo’a) : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah”. (QS. 2 : 286) Allah memberikan keringanan dan mansukh (terhapus)lah ayat yang pertama di atas. Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafi’i berkata : “Allah berfirman : Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam ini tidak berdosa)”.Ada beberapa hukum bagi sikap kekafiran ketika Allah menyatakan bahwa kekufuran tidak terdapat pada orang yang dipaksa, maksudnya bahwa menyatakan kekufuran secara lisan karena dipaksa tidak dianggap kufur. Jika sesuatu yang lebih berat dianggap gugur, maka yang lebih ringan lebih patut untuk gugur. Kemudian disebutkan adanya riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya Allah membebaskan umatku (dari dosa) karena keliru atau lupa atau dipaksa”. Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda : “Tidak ada thalaq dan pembebasan budak karena pemaksaan”. Demikianlah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu Zubai. Tsabit bin Al Ahnaf menikahi perempuan budak yang melahirkan anak milik ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khathab. Lalu ‘Abdurrahman memaksa Tsabit dengan teror dan cemeti untuk menceraikan istrinya pada masa khalifah Ibnu Zubair. Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Perempuan itu belum terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah kepada istrimu”. Saat itu Ibnu Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit dikembalikan kepada istrinya dan ‘Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman. Kemudian Shafiyah binti Abu ‘Ubaid, istri ‘Abdullah bin ‘Umar, mempersiapkan upacara walimahnya dan ‘Abdullah bin ‘Umar menghadiri walimah ini. Wallaahu a’lam. |